Tahun baru Hijriyah 1445 telah tiba. Seperti biasanya, tidak ada perdebatan tentang hilal sudah terlihat atau tidak. Yang ada dan meriah hanya pawai obor. Datang dari segala penjuru, massa menyemut di masjid-masjid besar kecamatan. Doa-doa pun dilantunkan agar setahun ke depan, segala kebaikan dan keselamatan dicurahkan oleh Yang Maha Kuasa.
Sebagian orang menyangka, jika tahun baru Islam tiba, hijrahnya Nabi dan para sahabat terjadi pada bulan Muharram. Sebagai bulan pertama di kalender Hijriyah, Muharram dipersepsi sebagai bulan hijrahnya Nabi. Padahal bukan. Catatan sejarah, Nabi berpindah dari Mekah ke Madinah di bulan Rabi’ul Awwal, bukan Muharram.
Nabi bersama Abu Bakr berangkat dari Mekah pada Jumat, 2 Rabiul Awwal dan tiba di Madinah pada Senin, 12 Rabi’ul Awwal. Tiga belas tahun setelah Bi’tsah. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri dan Dr. Muhammad Al-Hasyimi menyebutkan bahwa tanggal tersebut bertepatan dengan 16 September 622 M. Namun, astronom menghitung bertepatannya dengan hari Sabtu, 6 Juni 632 M. Ada perbedaan. Biarlah itu menjadi khazanah sejarah.
Kalender Hijriyah sendiri ditetapkan di zaman Khalifah Umar bin Khattab. Dua tahun setengah setelah berjalan kekhalifahan Umar. Ketetapannya berdasarkan kesepakatan (ijma’) para sahabat. Jarak dari hijrahnya Rasulullah, kurang lebih empat belas tahun enam bulan. Jarak yang tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan kalender Masehi.
Terlepas hal-ihwal tanggal, sesuatu yang lebih penting untuk diambil adalah pelaku sejarahnya. Tindak-tanduknya. Terutama kualitas imannya. Pelaku itu adalah Muhajirin dan Anshor. Dua kaum yang mengikat persaudaraan dengan ikatan iman yang kuat.
Kekuatan Quraisy tidak mampu mengudar simpul persaudaraan ini. Bahkan, ikatan ini menjadi kekuatan untuk menebarkan dakwah Islam ke seluruh Arab, Irak, Syria, Levant, Iran, Mesir, beberapa wilayah di Afrika Utara. Bahkan, generasi pelanjutnya mampu menaklukkan beberapa pulau di Mediterania.
Muhajirin dan Anshor, serta dua generasi berikutnya, yaitu tabi’in dan atbut-tabi’in adalah manusia terbaik sepanjang sejarah. Tentang kualitas mereka, Allah menjamin kebenarannya dalam QS. At-Taubah [9]: 100. Kualitas iman dan persaudaraan mereka tidak akan ada yang mampu menandinginya, kecuali kelompok manusia di akhir zaman yang diidentifikasi dengan istilah khilāfah ‘alā minhajin-nubuwwah.
Tindak-tanduk generasi Muhajirin, Anshor, dan dua generasi pengikutnya (tabi’in dan atbut-tabi’in) layak dijadikan cermin zaman untuk meraih kejayaan Islam dan kemaslahatan umat manusia. Melalui cermin zaman tersebut, semua pihak bisa melihat secara proyektif apa-apa yang mereka lakukan dalam hal aqidah, ibadah, dan muamalah mereka.