Mendidik Anak-Anak Langit

Pengalaman lima belas tahun lalu. Turun natural sebagai peneliti untuk memotret cara mengembangkan kecerdasan spiritual di sebuah sekolah dasar. Bukan di SD biasa, tapi di sekolah dasar pertama yang mengusung identitas “Islam Terpadu” di kota Parijs van Java.

Saat acara yang bertajuk “Tali Kasih”. Menjelang ujian akhir kelas enam, anak dan orang tua dipertemukan pada wahana perkemahan. Kumpul bersama melepas segala beban. Saling merelakan. Saling meridhoi dan mendoakan. Cara ini dilakukan karena kerap kali anak dalam tekanan. Target harus lulus dengan nilai besar menjadi beban di luar kemampuan. Stres pun tak terelakkan.

Selepas salat Subuh berjamaah, anak dan orang tua dipisahkan. Mereka diminta menulis surat secara spontan. Surat tentang keluh kesah dan harapan. Kesempatan untuk menumpahkan segala perasaan. Lantas ditukar untuk saling dibacakan.

Isak tangis mulai terdengar. Tampak beberapa anak dan ibu mulai saling berangkulan. Ada pula anak yang duduk merenung sendirian. Rupanya ayah dan ibunya tidak datang. Kasihan. Beberapa guru sudah paham yang mesti dilakukan. Dihampirinya anak-anak itu agar tak merasa sepi dalam kesendirian.

Tibalah saat anak dan orang tua yang bersedia jadi relawan. Saling membacakan surat di hadapan khalayak. Beberapa saat belum ada yang berani maju. Beberapa guru terpaksa harus memicu. Seorang ibu dan anak lelakinya pun akhirnya maju.

Sang anak yang memulai. Dibacakannya surat untuk ayah dan ibunya. Diawali baris pertama dengan kalimat, “Ayah dan ibu jangan suka marah….” Lalu, dia bercerita segala keluh kesah dan harapannya untuk bisa kuliah ke Jepang dan cita-citanya ingin menjadi dosen seperti ayahnya.

Sampailah di empat baris terakhir yang membuat semua terisak. “…bangunkan aku agar bisa tahajjud dan salat subuh berjamaah; doakan agar aku bisa membawa kalian naik haji; doakan aku agar seperti Kak Azzam dan De Syamil; doakan agar aku bisa menuntun kalian ke Surga.”

Sambil tak kuasa menahan air mata, sang ibu pun membacakan surat untuk putra tercinta. Baris pertama persis menjawab keluhan sang anak, “Ayah dan ibu marah bukan benci tapi sayang agar anak-anak ayah dan ibu tahu salah dan benar.” Unik, urutan kalimat-kalimat selanjutnya nyaris menjawab surat dari anaknya. Disengaja? Entahlah. Mungkin saja kebetulan karena kesamaan perasaan.

Tibalah di akhir surat. Kalimatnya pun seolah menjawab semua harapan sang anak. Ibunya menulis, “Ayah dan ibu mendukung semua cita-citamu; Jadilah anak-anak langit!; Yang hanya menggantungkan harapan kepada Allah saja!” Selesai. Hening sejenak, hanya isakan yang masih terdengar. MC pun malah larut dalam tangisan. Tak lama kemudian, suasana pun kembali bisa dikendalikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pos Terkait

Mulai mengetik pencarian Anda diatas dan tekan enter untuk mencari. Tekan ESC untuk batal.

kembali ke Atas